Pages

Saturday, March 19, 2011

Tapak Tilas Media di Indonesia



Media kini tak bisa disikapi sebagai satu kesatuan, ada perbedaan dari pengaruh, teknologi dan mutu. Tiras koran pada umumnya tak bergerak naik. Sementara itu ada informasi via internet. Koran kalah cepat.

Pemerintahan SBY kini punya problem dgn media, tak terampil dalam komunikasi dengan keragaman media. Adanya media elektronik dan internet meningkatkan kecepatan arus informasi. Karena sifatnya, birokrasi selalu lambat bereaksi.

Apalagi SBY tak punya tim yg canggih, dan dia sendiri bukan komunikator yang asyik. Problem mendasar lainnya adalah sementara pemerintah tak bisa menutup media, dia sendiri tak menguasai media yg berpengaruh besar: TV.

Justru ada dua stasiun TV swasta dikuasai kekuatan yang kepentingan politiknya harus menentang posisi Presiden dalam pelbagai hal. Maka kekuatan pemerintah terbatas, cuma bisa mengeluh dan mengancam boikot, mirip pepesan kosong.

Apalagi media (khususnya TV) bertopang pada rating. Kalau bukan kepentingan politik, kepentingan komersial yg dituju. Akibatnya, informasi yg kurang seru tapi penting, apalagi suara pemerintah, tak akan ditayangkan. Takut tak diminati penonton.

Sementara itu, pemerintahan SBY juga tak menunjukkan kesatu-paduan dalam informasi. Kabinet koalisi ini kadang seperti kuali pecah. Ironisnya pemerintahan yang berkuasa tapi tak punya media yg dikuasainya. TVRI yang milik 'negara', tak bisa dikendalikannya.

Dalam sejarah Indonesia, ini pengalaman pertama yang demikian. Antara 1945-1958, pers mendapat kebebasan penuh. Tapi belum terlanda komersialisasi. Masa demokrasi yang disebut liberal itu partai bersaing, dan media mereka bisa saling sengit. Tapi umumnya, koran partai tak laku.

Waktu itu ada semangat demokrasi yang dijaga oleh satu lapisan cendekiawan yg ‘matang’ di media. Ada nama-nama terkenal seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, S. Tasrif, Inyo Beng Gwat, P.K. Oyong, Njoto, B.M. Diah mereka adalah jurnalis dan cendekiawan.

Mochtar Lubis dengan Indonesia Raja-nya sangat kritis kepada Bung Karno. Koran ini yg membongkar perkawinan Bung Karno dgn Hartini.

Kemudian, setelah demokrasi liberal diganti dengan demokrasi terpimpin, Mochtar Lubis dipenjarakan, seluruhnya 9 tahun. Tanpa diadili.

Tapi Mochtar Lubis bukan pembenci pribadi Bung Karno. Ada satu karikatur yg ia tolak keras, karena menggambarkan Bung Karno dgn menghina.

Ada adab yang dipegang, kritis, tapi tak mau tampilkan tokoh publik apalagi Presiden dengan benci dan cemooh. Sayangnya, suasana itu dihabisi demokrasi terpimpin. Sejak 1958, pers bisa dibredel, harus pakai surat ijin terbit dan cetak.

Setelah demokrasi terpimpin, dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, runtuh, datang Orde Baru yang melanjutkan pengekangan itu. Kemudian datang reformasi. Media bebas sejak di bawah Presiden Habibie. Tapi kemudian komersialisasi tak bisa dicegah sampai sekarang ini.

Juga cita-cita untuk pers yang bersih, yang wartawannya tak minta dan terima suap, belum tercapai. Untung masih ada yang bersih. Tragis jika baik yang pro dan yang anti pemerintahan nanti membayar karya jurnalisme untuk mendukung.

Sumber: Kultwit Goenawan Mohamad